Mungkin tidak lagi hangat
di telinga kita tentang bencana terbesar sepanjang dekade tahun 2000. Dimana
bencana tsunami telah menyapu sebagian besar kota Aceh. Masyarakat Indonesia
dikagetkan dengan fenomena yang baru terjadi di Indonesia ini. Khususnya para
penduduk pesisir (dekat pantai). Keparnoan terjadi. Takut laut. Jangan melaut,
katanya. Sama seperti yang aku rasakan sebagai salah satu penduduk
pesisir.
Adalah
Pesisir Tengah, Krui Lampung Barat (saat ini menjadi kabupaten Pesisir Barat).
Pantai Labuhan Jukung menjadi salah satu pariwisata yang katanya menyabet
sebutan Pulau Bali Kedua.
Pantai tersebut dapat ditempuh hanya dengan berjalan kaki dari rumahku karena
jaraknya hanya sekitar 100 meter. Masih ingat dalam ingatan, setelah tsunami
terjadi di Aceh, sebagian masyarakat Krui lebih memilih bertempat tinggal di
dataran yang lebih tinggi (kami sebut daerah Seray). Sehingga tidak heran, saat
ini deretan rumah memenuhi daerah yang dahulunya sedikit penghuni itu.
Peristiwa
itu pun terjadi. Ramadhan, 2008
Para
jamaah masjid masih khusyu' mengamini doa bilal yang membaca doa kamilin (doa
setelah shalat tarawih). Tiba-tiba suara bising terdengar dari luar
masjid. Klakson motor satu dua kali terdengar sampai saling bersahutan. Ribut.
Bising. Tan..!!!Tinnn!!!!
Tan..!!!!Tin!!!!!
![]() |
| Ilustrasi kepanikan warga Krui (sumber:google) |
Aku pun terusik dengan ributnya para jamaah ibu yang seketika berhamburan dan berlomba-lomba keluar masjid.
“Tsunami Teh, tsunami….!!!!!”
Ucap adik perempuanku.
Kaget bin bingung.
Tsunami? Benarkah?
Segera kugandeng lengan
adikku dan melangkah secepat kilat. Di luar sudah banyak motor dan mobil yang
memenuhi jalan. Entahlah apa dan siapa yang berada di motor dan mobil itu,
intinya suara klakson tak
berhenti-berhenti terngiang di telingaku.
Sesampainya di rumah
ternyata keluargaku telah bersiap-siap untuk pergi ke Seray. Di sanalah tujuan
final masyarakat Krui untuk berlindung diri dari Tsunami.
Entah bagaimana
ceritanya, aku terpisah dari Abah dan Ibu dan berada bersama rombongan
tetangga. Sedih nian rasanya.
Kami bergegas ke Seray
menaiki sebuah motor. Dan keadaanku masih sama. Bermukena. Tak ada banyak waktu
untuk melepas mukena dan mengenakan jilbab saat itu. Sepanjang perjalanan, tak
sedikit stang motor mencium siku tanganku, saking macetnya. Tak sedikit
teriakan mereka (masyarakat) yang ketakutan. Kami sibuk menyelamatkan diri
masing-masing. Dan aku masih memikirkan dimana keluargaku berada.
“Kapankah tsunaminya??
Apakah keluargaku akan baik-baik saja? Akankah rumahku akan hancur??” Bisik
kecilku.
Singkat cerita, aku telah
sampai di tempat yang kusebut “pengungsian” di daerah Seray. Di sana aku
bertemu banyak orang, tapi tak kutemui batang hidung salah satu anggota
keluargaku. Ada Andhini, teman semasa sekolah dasarku, tapi hati ini enggan
menegurnya. Ada Bang Intan, yang mondar mandir dan berkomat-kamit “10
menit luwot ajo tsunami (10 menit lagi nih tsunami)” dan masih banyak lagi.
Hingga sepuluh menit
berlalu. Hatiku berdebar bukan main, ingat akan ucapan Bang Intan. Dua puluh
menit berlalu… Hingga tiga puluh menit berlalu. Ada wajah yang menyimpan rasa
lega, namun masih terdapat wajah yang masih terlihat was was.
Dan wajahku masih was
was. Bagaimana tidak, aku anak perempuan berusia 13 tahun yang masih mencari dimana keberadaan
keluargaku. Kesal. Takut. Sedih. Campur aduk.
Sampai akhirnya,
tetanggaku mengatakan akan mengantarkanku menuju Abah, Ibu dan Adik-adik.
Bahagia sekali rasanya mendapat kabar keberadaan mereka. Aku bosan jadi anak
ilang. Rasanya, tidak berada bersama keluargaku adalah hal yang lebih
kutakutkan daripada tsunami.
Hingga satu jam berlalu.
Tapi tak terjadi apa-apa. Di stasiun televisi yang kutonton menyebutkan bahwa
gempa yang terjadi di Bengkulu akan berpotensi tsunami. Jika Bengkulu tsunami,
maka Krui akan kena jatahnya karena jarak kedua daerah ini sangat dekat. Tapi
belum juga terjadi.
Hingga kebahagianku
akhirnya tercapai, aku telah bertemu keluargaku. Mereka dalam keadaan baik.
Lega rasanya. Kebahagiaan yang kedua menjemput, tsunami tidak terjadi di Krui.
Aku lega,keluargaku lega dan masyarakat Krui pun lega. Fiks!! Ini isu tsunami. Setidaknya
diri ini pernah mengalami bagaimana ketegangan masyarakat Aceh mencoba
menyelamatkan diri dari tsunami.
Huwaa seram tenan rek..!

