Blogroll

My Instagram

Senin, 06 Juni 2016

Unknown

Isu Tsunami di Bulan Ramadhan

Mungkin tidak lagi hangat di telinga kita tentang bencana terbesar sepanjang dekade tahun 2000. Dimana bencana tsunami telah menyapu sebagian besar kota Aceh. Masyarakat Indonesia dikagetkan dengan fenomena yang baru terjadi di Indonesia ini. Khususnya para penduduk pesisir (dekat pantai). Keparnoan terjadi. Takut laut. Jangan melaut, katanya. Sama seperti yang aku rasakan sebagai salah satu penduduk pesisir. 

Adalah Pesisir Tengah, Krui Lampung Barat (saat ini menjadi kabupaten Pesisir Barat). Pantai Labuhan Jukung menjadi salah satu pariwisata yang katanya menyabet sebutan Pulau Bali Kedua. Pantai tersebut dapat ditempuh hanya dengan berjalan kaki dari rumahku karena jaraknya hanya sekitar 100 meter. Masih ingat dalam ingatan, setelah tsunami terjadi di Aceh, sebagian masyarakat Krui lebih memilih bertempat tinggal di dataran yang lebih tinggi (kami sebut daerah Seray). Sehingga tidak heran, saat ini deretan rumah memenuhi daerah yang dahulunya sedikit penghuni itu. 

Peristiwa itu pun terjadi. Ramadhan, 2008

Para jamaah masjid masih khusyu' mengamini doa bilal yang membaca doa kamilin (doa setelah shalat tarawih). Tiba-tiba suara bising terdengar dari luar masjid. Klakson motor satu dua kali terdengar sampai saling bersahutan. Ribut. Bising. Tan..!!!Tinnn!!!! Tan..!!!!Tin!!!!!
Ilustrasi kepanikan warga Krui (sumber:google)

Aku pun terusik dengan ributnya para jamaah ibu yang seketika berhamburan dan berlomba-lomba keluar masjid.
“Tsunami Teh, tsunami….!!!!!” Ucap adik perempuanku.
Kaget bin bingung. Tsunami? Benarkah?
Segera kugandeng lengan adikku dan melangkah secepat kilat. Di luar sudah banyak motor dan mobil yang memenuhi jalan. Entahlah apa dan siapa yang berada di motor dan mobil itu, intinya suara klakson  tak berhenti-berhenti terngiang di telingaku.
Sesampainya di rumah ternyata keluargaku telah bersiap-siap untuk pergi ke Seray. Di sanalah tujuan final masyarakat Krui untuk berlindung diri dari Tsunami.
Entah bagaimana ceritanya, aku terpisah dari Abah dan Ibu dan berada bersama rombongan tetangga. Sedih nian rasanya.

Kami bergegas ke Seray menaiki sebuah motor. Dan keadaanku masih sama. Bermukena. Tak ada banyak waktu untuk melepas mukena dan mengenakan jilbab saat itu. Sepanjang perjalanan, tak sedikit stang motor mencium siku tanganku, saking macetnya. Tak sedikit teriakan mereka (masyarakat) yang ketakutan. Kami sibuk menyelamatkan diri masing-masing. Dan aku masih memikirkan dimana keluargaku berada.
“Kapankah tsunaminya?? Apakah keluargaku akan baik-baik saja? Akankah rumahku akan hancur??” Bisik kecilku.

Singkat cerita, aku telah sampai di tempat yang kusebut “pengungsian” di daerah Seray. Di sana aku bertemu banyak orang, tapi tak kutemui batang hidung salah satu anggota keluargaku. Ada Andhini, teman semasa sekolah dasarku, tapi hati ini enggan menegurnya. Ada Bang Intan, yang mondar mandir dan berkomat-kamit  “10 menit luwot ajo tsunami (10 menit lagi nih tsunami)” dan masih banyak lagi.

Hingga sepuluh menit berlalu. Hatiku berdebar bukan main, ingat akan ucapan Bang Intan. Dua puluh menit berlalu… Hingga tiga puluh menit berlalu. Ada wajah yang menyimpan rasa lega, namun masih terdapat wajah yang masih terlihat was was.
Dan wajahku masih was was. Bagaimana tidak, aku anak perempuan berusia 13 tahun  yang masih mencari dimana keberadaan keluargaku. Kesal. Takut. Sedih. Campur aduk.

Sampai akhirnya, tetanggaku mengatakan akan mengantarkanku menuju Abah, Ibu dan Adik-adik. Bahagia sekali rasanya mendapat kabar keberadaan mereka. Aku bosan jadi anak ilang. Rasanya, tidak berada bersama keluargaku adalah hal yang lebih kutakutkan daripada tsunami.

Hingga satu jam berlalu. Tapi tak terjadi apa-apa. Di stasiun televisi yang kutonton menyebutkan bahwa gempa yang terjadi di Bengkulu akan berpotensi tsunami. Jika Bengkulu tsunami, maka Krui akan kena jatahnya karena jarak kedua daerah ini sangat dekat. Tapi belum juga terjadi.

Hingga kebahagianku akhirnya tercapai, aku telah bertemu keluargaku. Mereka dalam keadaan baik. Lega rasanya. Kebahagiaan yang kedua menjemput, tsunami tidak terjadi di Krui. Aku lega,keluargaku lega dan masyarakat Krui pun lega. Fiks!! Ini isu tsunami. Setidaknya diri ini pernah mengalami bagaimana  ketegangan masyarakat Aceh mencoba menyelamatkan diri dari tsunami.
Huwaa seram tenan rek..!

Pantai Labuhan Jukung (sumber:google)


Unknown

About Unknown -

Ummi Hasanah yang kerap disapa Ala. Mahasiswi Tafsir Hadis UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang kini sibuk skripsi, mengajar dan mencari ilmu di Pusat Studi Pesantren Jakarta. Asli Lampung, darah Sunda Jawa.

Subscribe to this Blog via Email :