Suara sirine menggema hingga sudut-sudut ruang kamar. Mencolek
setiap gendang telinga yang masih terlelap pulas. Satu, dua, tiga pasang mata
terbuka. Lagi, lagi dan lagi.
“Quuumnaa....!!! Get Up....!!![1]
“Hayya ilal masjid!!![2]” Suara-suara mereka terdengar lagi. Kali ini lebih keras dari
biasanya.
“Alamak!! Baru lima jam kedua mata ini terpejam,” keluhku. Masihkah
ada sedikit waktu istirahat untuk tubuhku. Ah, percuma. Kata orang ini penjara
suci. Seram dengan kata penjara, namun tenteram dengan kata suci. Aku pun masih
bingung menafsirkannya.
Aku Hilal. Sudah
empat bulan aku tak bercengkrama dengan gadget mahalku, tak menikmati lezatnya
pizza macaroni House Cafe, tak berjumpa dengan Clash of Clan untuk menyelesaikan
level terakhir dan tak bermain skateboard di taman kota. Karena, sudah empat
bulan aku disebut sebagai santri. Melepas segala hirup pikuk dunia lamaku. Dan
mulai menghirup oksigen dalam dunia pesantren.
Seminggu lalu mama menelpon agar selalu sabar menjalani kehidupan baru ini.
Sebulan aku sabar, dua bulan tetap sabar, bulan ketiga masih sabar hingga
menginjak empat bulan aku sudah mulai lelah. Mana tahan.
Remaja sepertiku
mana tahan dengan budaya ngantri. Mandi ngantri, makan ngantri, mencuci pakaian
pun ngantri. Kalau makan harus bersama, satu piring besar terbagi menjadi
delapan orang. Ah, rasanya malas sekali jika makan berdempetan. Enam hari dalam
seminggu aku harus menghapal beberapa kosa kata bahasa Arab dan mengulangnya
dihadapan kakak pengurus. Mempraktekkannya dalam kehidupan sehari-hari. Aku
harus bercengkrama dengan tumpukan kitab-kitab Arab gundul. Aku harus mengaji
beberapa lembar al-Qur’an setiap harinya. Peraturan demi peraturan membayangi
otakku. Jenuh rasanya. Bahkan aku lebih rindu kucing anggoraku di rumah
dibandingkan keadaan ini. Hingga
akhirnya peristiwa itu terjadi.
Gemuruh suara santri aliyah kelas sepuluh memenuhi ruang kelas saat
pak ustadz Rozak datang. Bukan karena kedatangan ustadz Rozak, namun kehadiran
sosok yang berada di samping beliau. Adalah KH. Fathuddin. Kiyai sohor yang
namanya sudah tak asing di telinga santri . Beliau lah pengasuh pondok
pesantrenku, pondok pesantren Al-Falah. Beliau masuk ke dalam ruang kelasku
bukan hanya sekedar untuk memandang ruang kelas, pengajar dan santri. Kata
ustadz Rozak, biasanya beliau mengajak berbincang salah satu santrinya di dalam
kelas.
“Muhammad Hilal Syahreza..!” Ustadz Rozak memanggil namaku setelah
sekejap menatap daftar absen, itu pertanda kiyai akan mengajakku berbincang
kecil. Lantas dengan sigap aku berdiri.
“Yes, i am”, tegasku.
“Assalamualaikum
Hilal. Semoga keadaanmu selalu sehat. Bagaimana kesanmu menjadi santri di sini
nak?”, tanya kiyai.
“Nothing special”,
jawabku.
Senyum kiyai
meruah bak delima mekar. Tatapannya sedikit sayu. “Apakah kau betah tinggal di
sini nak?”, tanya kiyai kembali.
Alisku menyerngit
seakan ada keraguan untuk menjawab pertanyaan kiyai. “I am not sure, Kiyai.
Saya bosan dan jenuh, Saya tak terbiasa mengantri jika mau mandi, apalagi makan
bersama-sama”, jawabku. Seketika mata
teman-teman sekitar kelas menatapku tajam. Mata uztadz Rozak tak luput
dari jangkauanku. Melotot. Tajam.
Beberapa saat
kemudian, Kiyai Fathuddin kembali bertanya, kini suaranya lebih pelan dan
lembut.“Jawab dengan jujur nak. Berapa kali kau melaksanakan shalat selama di
sini?”, tanya kiyai.
“Lima kali kyai,
ditambah dengan shalat tahajud dan duha”, jawabku
“Berapa kali kau
mengaji al-Qur’an selama di sini?”, tanya kiyai.
“Setiap hari setelah shalat subuh dan magrib kiyai”, jawabku lagi.
“Berapa banyak
kosa kata yang kau hapalkan selama di sini”, ucap kiyai.
“Sudah ada 300
kosakata dalam bahasa Arab dan Inggris, kiyai”, ucapku bingung.
“Lalu, berapa
teman yang sudah berbagi makanan bersamamu?”, tanya Kiyai.
“Hmm, hampir semua
teman dalam kamar saya, Kiyai”, balasku. Kini senyuman Kiyai kembali merayap.
Lalu ia kibaskan sorban melingkari leher panjangnya. Beliau melangkah kecil ke
arahku.
“Sebesar tempat
pecut di surga nilainya lebih baik dari pada dunia dan seisinya. Hadis riwayat
Bukhari dan Muslim”, bisik kecil kiyai kepadaku. “Sekarang kau bandingkan
dengan empat bulan lalu sebelum dirimu di sini nak. Semoga Allah merahmatimu”,
ucap Kiyai lantas pergi lalu salam dan meninggalkan kelas.
Bak dentuman
dahsyat menukik hatiku paling dalam. Pikiranku mengajak bernostalgia sejenak
dengan hingar bingar duniaku dahulu. Masih teringat bagaimana aku mengabaikan
azan shalat seperti lalat yang lalu lalang. Melantunkan lagu-lagu populer masa
kini dan meninggalkan al-Qur’an di sudut akhir rak buku. Menikmati kekayaan
kedua orang tua dengan tak memperdulikan nasib fakir di belakang sana. Dan di
pesantren ini aku menadapatkan nilai-nilai spiritual dan kemanusiaan,
menjadikan pribadi yang sabar dan saling tolong menolong. Di sini kami tidak
diajarkan untuk menjadi pengejar kepentingan uang dan kekuasaan, tapi
semata-mata kewajiban dan pengabdian (ibadah) kepada Tuhan. Aku, Hilal, bangga
menjadi santri.
Tulisan ini sebagai bahan pembelajaran bagi penulis selaku seorang santri. Dedikasikan untuk suarapesantren.net , sebagai wadah penulis mengabadikan rangkaian kata-kata yang tak seberapa ini.

