Sekitar tiga tahun yang lalu, sempat membulatkan tekad untuk tidak akan pernah lagi memakai jeans. Celana jeans itu mengingatkan dengan masa-masa euforia remaja, yang suka jalan-jalan pake motor di sore hari keliling pantai, nongkrong di bukit daerah tebing yang dekat banget sama hempasan ombak laut, duduk di atas cabang pohon tua dengan mengibaskan kaki di udara, dan semuanya.
Sampai akhirnya masuk kuliah dan memutuskan untuk tidak menggunakan celana jeans yang saya nilai sebagai pakaian yang dekat dengan maksiat selain baju ketat, baju renang dan rok mini.
Semua jeans yang saya punya ludes, saya infakkin ke orang lain. Dan settt!!! rok segera memenuhi lemari, yang penting gak ada celana jeans nya. Berasa adem setiap hari pake rok, kayak ukhty ukhty katanya he
Hari demi hari, bulan demi bulan dan tahun demi tahun berlalu, prinsip ini masih saya pegang. Sampai akhirnya saya kok kangen sama jeans. Akhirnya saya coba lg pake jeans. Pertama kalinya saat tour ke Bandung. Saya memutuskan memakai lagi karena biar gak ribet dalam perjalanan. Biar banyak gerak. Dan tentunya makenya bersamaan dengan baju yang panjangnya sampai lutut, kalau dulu kan makenya bareng baju yang sampe pinggang. Dan pertama kali nyoba lagi kok rasanya seneng, kayak ketemu teman lama. Kedua kalinya saya pake jeans sewaktu musyawarah nasional PMII di Ambon, dengan alasan yang sama, "biar gak ribet". Dan saya kembali nyaman. Hingga akhinya saya mikir, jeans itu gak salah lho..! kayaknya pemikiran saya yang mesti di ubah tentang jeans.
Jadi sebenarnya, pakaian itu tidak dapat menentukan akhlak orang yang sebenarnya. Dont judge people from their appearances. Pribadi saya sendiri akhirnya memandang bahwa banyak teori yang diciptakan setiap individu yang seolah menjadi rumus ampuh yang mesti diparipurnakan dan diterapkan dalam kehidupan. Pakaian harus gini gitu gono gene. Ujung-ujungnya saya mikir, stop mikirin penampilan orang. Go ahead. Do what u think is better.
Ciputat, after rain at PPSDM UIN Jakarta 2.29 PM
