![]() |
Langit biru dan awan putih terbentang indah. Burung-burung gereja
terbang kian kemari dan berkicauan syahdu. Namun kicauan itu tak mampu
kudengar, karena seperti hari-hari biasa, suara deru mesin kendaraan menghiasi
hiruk pikuk kota Jakarta pagi ini. Pukul 06.30 WIB aku menunggu Transjakarta di
terminal Lebak Bulus, Jakarta Selatan. Tak ada yang istimewa di pagi ini.
Kukenakan kemeja biru kotak-kotak, jaket kulit coklat berlengan panjang, celana
dasar hitam dan topi dengan garis army dipinggiran kanan. Yang berbeda hanyalah
jam tangan Rolex dari Swiss yang menempel di pergelangan tangan kiriku. Entahlah,
dengan memakainya berharap keberuntungan
datang menghampiri.
Transjakarta dengan nomor 76 Ciputat-Blok M telah tiba. Aku masuk
lalu duduk di bangku sudut kanan bus. Bismillah semoga selamat, bisik benakku.
Tepat dihadapanku seorang gadis kecil dengan kunciran kepang dua berhias pita
merah muda duduk bersama ayahnya. Seketika pikiranku mengajak bernostalgia
dengan peristiwa itu. Peristiwa yang mengunci hati ini selama 14 tahun, membuat
kedua mata ini tak menatap gadis cantik lain, indah bayangannya selalu
kuucapkan di dalam doa serta meyakinkan kalbu ini untuk selalu menunggu
kedatangannya.
Tepat di Ciputat pada tanggal 17 Juli 2000. Era dimana pahlawan
panji Millenium menjadi raja idaman anak-anak kecil sampai remaja.
Mamaku bekerja di Kantor Asuransi cabang daerah Ciputat, Tangerang
Selatan, Banten. Setiap ba’da dzuhur mama menitipkanku di Day Care Home,
sebuah rumah kecil penitipan anak. Dan kisah cinta pertamaku bermula di sini.
“Hei gambar gedungnya bagus, aku suka!” Suara gadis kecil yang baru
kali ini kulihat menghentikan gerak licah tanganku saat menggambar. Kepalaku
dengan segera menoleh dan menatap lekat kedua matanya. Rambutnya terkepang
dengan rapi, bulu matanya lentik bak sayap burung cenderawasih, dan senyumannya
indah seperti bulan sabit di malam hari. Kata mama, anak kecil umur delapan
tahun sepertiku belum bisa jatuh cinta. Ketika mama berjumpa dengan papa, yang
dirasakan hanya detakan jantung yang berdebar-debar dan pipi yang kemerahan. Dan
aku merasakannya. Ku tak tahu mengapa aku terjebak dengan peristiwa ini di usia
dini. Cinta kah?
Dan hari itu menjadi hari aneh dan bahagia bagiku. Selama
berjam-jam aku menghabiskan waktu bermain bersamanya. Yang kuingat adalah
kepang dan senyuman bulan sabitnya. Namun, perpisahan telah datang, bahkan aku
tak tahu namanya dan tak sempat mengucapkan selamat tinggal. Hanya sebuah kode yang
ia berikan padaku. Aku sempat berharap menjadi detektif Conan dalam episode
Jolly Ranger yang mampu memecahkan kasus pembunuhan di kapal pesiar. Namun
sampai saat ini kode gadis senyum bulan sabit itu masih tidak bisa kupecahkan.
Hal itu terjadi ketika aku menanyakan namanya.
“Hei, nama kamu siapa?”
tanyaku dengan semangat.
“Kamu pakai jam tangan enggak?”, ucapnya.
“Enggak’’ jawabku dengan rasa bingung.
“Kalo gitu kamu lihat jam dinding di atas, kata ibuku kalo
orang yang berkenalan denganku melihat jam, dia pasti ingat aku” jawabnya
singkat.
***
“Kamu lihat jam, pasti kamu ingat aku”
“Nyiittttttt…!”
Rem bus yang mendadak membuat lamunanku pecah dan kacamata milik
gadis berkerudung disebelahku terjatuh. Aku mengambil dan memberikan padanya.
Ucapan terimakasih darinya membuka pembicaraan baru. Kurang lebih setengah jam
kami terbawa dalam pembicaraan orang asing yang saling bertemu, seperti terasa
dekat sebelumnya.
“Aku pamit duluan, kantorku di Bank DKI daerah sini. Kapan-kapan
sudi untuk berkunjung”, ucapnya dengan senyuman manis.
“Insyaallah, hati-hati di jalan” jawabku. Ia pun segera
melangkahkan kaki menuju pintu keluar. “Oya, namamu?!!” tanyaku sambil
berteriak.
“Lihat jam tangan di tangan kirimu, namaku Detik …!
Oh Tuhan, aku menemukannya!
*Cerpen pertamaku yang berhasil lolos dalam event menulis Naifa Publishing dan dibukukan dengan karya-karya lainnya dalam buku Antologi Cerpen Hadirmu Buatku Bahagia_15 of Dec 2014
