Aku benci laki-laki. Makhluk Tuhan
dengan jakun perkasa itu harusnya tak pantas berada di dunia ini. Aku tertegun
dalam kamar. Ada beberapa payung rusak dibalik pintu, aku sengaja tak
membuangnya. Tumpukan pakaian kotor, sampah tissu lusuh, pecahan kaca dari mug
teddybear, gumpalan-gumpalan kertas membentuk bola kasar dan retakan pinggir
bingkai yang kupecahkan tadi malam,
semuanya hanya bisa diam, menjadi saksi bisu luputnya hingar bingar
kamarku.
Hingga akhirnya
kusadari, aku tidak membenci laki-laki. Buktinya aku tidak membenci almarhum ayah,
paman, opa dan dokter Billy. Aku juga tidak membenci Tomas, kucing persia
tampanku. Aku hanya membenci dia. Dia yang menghipnotis hatiku untuk
mendambanya, menghadirkan secercah
cakrawala mentari setiap aku memandang lekat kedua matanya di pagi hari,
mengumandangkan nyanyian cinta, mengusap segelintir air mataku yang jatuh saat resah, dan segalanya. Segalanya tentang dia
hingga akhirnya cahaya hidupku redup, gelap. Aku benci dia.
Tiga tahun
bukanlah waktu yang sebentar untuk menjalin kasih dengan Adhit. Laki-laki asing
yang kuanggap berasal dari bongkahan cincin asteroid, yang membuat planet
Saturnus terlihat indah. Begitupun Adhit, cincin yang mengindahkan hidupku.
Sejak dokter Billy memvonisku mengidap penyakit Sirosis Hepatis, Adhit yang
membuatku bertahan hidup. Mungkin Allah telah murka padaku. Anggap saja
penyakit ini adalah salah satu cara praktis untuk bertemu denganNya secara
langsung, hingga hatiku menjadi kecil dan keras, rambut rontok, mata kuning dan
pembesaran perut karena penimbunan cairan dalam vaskuler yang merembes ke
rongga perut, itulah beberapa gejala penderita kelainan organ hati sepertiku.
Namun Adhit tetap hadir disampingku. Mengucap janji setia sehidup semati. Kita
akan menikah, punya anak dan hidup bahagia, kata-kata yang selalu Adhit
lontarkan dari bibir manisnya. Walau kami tak tahu, kapan nadiku akan berhenti
berdenyut. Umurku pendek. Kematian menantiku.
Seminggu yang lalu
Adhit masih di sini, di kamarku. Membawa gitar dan seikat bunga matahari
untukku.
“Selamat pagi cinta! kamu terlihat makin cantik pagi ini”, gombal
Adhit seraya menyerahkan seikat bunga.
“Selalu saja kata-kata itu yang kamu ucapkan, aku bosan”, ucapku
kesal.
“Okelah kalau begitu, kalau tuan puteriku bosan, izinkanlah
pangeran Adhit membawakan satu buah lagu untukmu”, timpal Adhit.
Lihatlah, aku bagai bocah taman
kanak-kanak dibuatnya. Adhit selalu membuatku tersenyum dan tak membiarkanku
tenggelam dalam kesedihan. Diambilnya gitar dan mulai bernyanyi.
‘Cause all of me, loves all of you..Love your curves and all your
edges, all your perfect imperfection
Give your all to me, I’ll give my all to you …You’re my end and my
beginning, even when I lose I’m winning
Cause I give
you all of me……. And you give me all of you…..
Sepenggal lirik lagu dari John
Legend yang Adhit bawakan menyentuh relung hatiku paling dalam. Semuanya telah
Adhit berikan padaku. Sebercak penyesalan menyelimuti. Apakah aku egois?
Membiarkan Adhit terpaku menanti gadis malang yang sebentar lagi menjemput
kematian. Melumpuhkan cita-citanya karena merawatku. Meruntuhkan mimpi-mimpi
indahnya karena hadirnya diriku. Air mataku telah meronta ingin keluar, perih.
Aku pun menangis.
“Hei, tuan puteri kenapa menangis.
Bahkan saat menangis, kau terlihat cantik Nadia”, hibur Adhit. Sekian kalinya
aku tak melihat raut kesedihan menempel di wajahnya. Malaikatkah dirimu?
benakku.
“Nadia, aku mencintaimu. Kita akan
menikah dan hidup bahagia. Kita memiliki dua anak yang lucu. Kita buka bisnis
seafood seperti keinginanmu dulu, lalu kita akan berkeliling dunia. Paris kan?
Kita akan ke sana Nadia. Dan ingat, kau berjanji membuatkanku sweeter rajut
musim dingin, aku menunggu itu. Kau
pasti sembuh Nadia, kau pasti sembuh!”, Adhit menatap tajam kedua mataku yang
berkaca-kaca. “Nadia, aku rela mengorbankan hidupku asal kau sembuh.
Berjanjilah, ini air mata terakhir yang kau keluarkan”, ucap Adhit seraya
memeluk tubuh lunglaiku.
Itulah pertemuan terakhirku dengan
Adhit.
Sampai akhirnya, kini aku
membencinya. Setelah menjalani operasi hati dan aku dinyatakan sembuh, Adhit
meninggalkanku. Mengingkari semua janji-janji manis untuk bersamaku sehidup
semati. Meninggalkan mimpi buruk dalam kidung doaku. Mewariskan sederatan lara
dalam hidupku. Menjadi duri busuk di jiwaku.
Aku bahkan tak ingin hidup jika
begini. Aku ingin kembali mengalami rasa sakit agar Adhit hadir untuk
menemaniku. Mengucapkan selamat pagi, memberikan bunga matahari, membawakan
sebuah lagu cinta, mengusap lembut rambutku, memberiku obat, menuntunku ke
taman saat bosan, menghapus airmataku saat sedih, menghiburku dengan cerita konyolnya,
dan mengecup keningku agar aku terlelap dalam tidur. I miss it!
Hingga akhirnya, mama memberikan
surat padaku. Surat dari Adhit.
Selamat pagi cinta, aku yakin kau semakin cantik
hari ini. Maaf, tak ada bunga yang kuberikan kali ini. Mungkin kau membenciku,
muak, kesal , dan ingin muntah setiap kali mengingatku. Hei Nadia! Aku tidak
pergi, aku hanya menghilang. Ingatlah, dalam dirimu ada hatiku. Jagalah dengan
baik. I’ll always loving you. Apakah kau masih mencintaiku Nadia?
Ur price_Adhitia
Dirga
Mama tiba-tiba memeluk erat tubuhku.
Air matanya jatuh yang tak kumengerti apa penyebabnya.
“Ini surat seminggu yang lalu, Adhit
mendonorkan hatinya untukmu nak…..!!!”
Jleb! Sontak pikiranku kacau. Air
mata menyeruak dari retina mataku. Tubuhku jatuh dalam pelukan mama dan bayangan
Adhit segera menyelimutiku. Adhit,kau mantan terindahku dan aku salah
menilai tentangmu. Aku masih mencintaimu. Selamanya….*cerpen ini berhasil lolos dalam event menulis Aria Publishing, dan dibukukan dalam Antologi Mantan Terindah
