Blogroll

My Instagram

Senin, 11 Januari 2016

Unknown

Belenggu Hati Sang Mantan




Aku benci laki-laki. Makhluk Tuhan dengan jakun perkasa itu harusnya tak pantas berada di dunia ini. Aku tertegun dalam kamar. Ada beberapa payung rusak dibalik pintu, aku sengaja tak membuangnya. Tumpukan pakaian kotor, sampah tissu lusuh, pecahan kaca dari mug teddybear, gumpalan-gumpalan kertas membentuk bola kasar dan retakan pinggir bingkai yang kupecahkan tadi malam,  semuanya hanya bisa diam, menjadi saksi bisu luputnya hingar bingar kamarku.

            Hingga akhirnya kusadari, aku tidak membenci laki-laki. Buktinya aku tidak membenci almarhum ayah, paman, opa dan dokter Billy. Aku juga tidak membenci Tomas, kucing persia tampanku. Aku hanya membenci dia. Dia yang menghipnotis hatiku untuk mendambanya, menghadirkan  secercah cakrawala mentari setiap aku memandang lekat kedua matanya di pagi hari, mengumandangkan nyanyian cinta, mengusap segelintir air mataku yang jatuh saat  resah, dan segalanya. Segalanya tentang dia hingga akhirnya cahaya hidupku redup, gelap. Aku benci dia. 

            Tiga tahun bukanlah waktu yang sebentar untuk menjalin kasih dengan Adhit. Laki-laki asing yang kuanggap berasal dari bongkahan cincin asteroid, yang membuat planet Saturnus terlihat indah. Begitupun Adhit, cincin yang mengindahkan hidupku. Sejak dokter Billy memvonisku mengidap penyakit Sirosis Hepatis, Adhit yang membuatku bertahan hidup. Mungkin Allah telah murka padaku. Anggap saja penyakit ini adalah salah satu cara praktis untuk bertemu denganNya secara langsung, hingga hatiku menjadi kecil dan keras, rambut rontok, mata kuning dan pembesaran perut karena penimbunan cairan dalam vaskuler yang merembes ke rongga perut, itulah beberapa gejala penderita kelainan organ hati sepertiku. Namun Adhit tetap hadir disampingku. Mengucap janji setia sehidup semati. Kita akan menikah, punya anak dan hidup bahagia, kata-kata yang selalu Adhit lontarkan dari bibir manisnya. Walau kami tak tahu, kapan nadiku akan berhenti berdenyut. Umurku pendek. Kematian menantiku.

            Seminggu yang lalu Adhit masih di sini, di kamarku. Membawa gitar dan seikat bunga matahari untukku.

“Selamat pagi cinta! kamu terlihat makin cantik pagi ini”, gombal Adhit seraya menyerahkan seikat bunga.
“Selalu saja kata-kata itu yang kamu ucapkan, aku bosan”, ucapku kesal.
“Okelah kalau begitu, kalau tuan puteriku bosan, izinkanlah pangeran Adhit membawakan satu buah lagu untukmu”, timpal Adhit.
Lihatlah, aku bagai bocah taman kanak-kanak dibuatnya. Adhit selalu membuatku tersenyum dan tak membiarkanku tenggelam dalam kesedihan. Diambilnya gitar dan mulai bernyanyi.

‘Cause all of me, loves all of you..Love your curves and all your edges, all your perfect imperfection
Give your all to me, I’ll give my all to you …You’re my end and my beginning, even when I lose I’m winning
Cause I give you all of me……. And you give me all of you…..

Sepenggal lirik lagu dari John Legend yang Adhit bawakan menyentuh relung hatiku paling dalam. Semuanya telah Adhit berikan padaku. Sebercak penyesalan menyelimuti. Apakah aku egois? Membiarkan Adhit terpaku menanti gadis malang yang sebentar lagi menjemput kematian. Melumpuhkan cita-citanya karena merawatku. Meruntuhkan mimpi-mimpi indahnya karena hadirnya diriku. Air mataku telah meronta ingin keluar, perih. Aku pun menangis.

“Hei, tuan puteri kenapa menangis. Bahkan saat menangis, kau terlihat cantik Nadia”, hibur Adhit. Sekian kalinya aku tak melihat raut kesedihan menempel di wajahnya. Malaikatkah dirimu? benakku.
“Nadia, aku mencintaimu. Kita akan menikah dan hidup bahagia. Kita memiliki dua anak yang lucu. Kita buka bisnis seafood seperti keinginanmu dulu, lalu kita akan berkeliling dunia. Paris kan? Kita akan ke sana Nadia. Dan ingat, kau berjanji membuatkanku sweeter rajut musim dingin, aku menunggu itu.  Kau pasti sembuh Nadia, kau pasti sembuh!”, Adhit menatap tajam kedua mataku yang berkaca-kaca. “Nadia, aku rela mengorbankan hidupku asal kau sembuh. Berjanjilah, ini air mata terakhir yang kau keluarkan”, ucap Adhit seraya memeluk tubuh lunglaiku.
Itulah pertemuan terakhirku dengan Adhit.
Sampai akhirnya, kini aku membencinya. Setelah menjalani operasi hati dan aku dinyatakan sembuh, Adhit meninggalkanku. Mengingkari semua janji-janji manis untuk bersamaku sehidup semati. Meninggalkan mimpi buruk dalam kidung doaku. Mewariskan sederatan lara dalam hidupku. Menjadi duri busuk di jiwaku.

Aku bahkan tak ingin hidup jika begini. Aku ingin kembali mengalami rasa sakit agar Adhit hadir untuk menemaniku. Mengucapkan selamat pagi, memberikan bunga matahari, membawakan sebuah lagu cinta, mengusap lembut rambutku, memberiku obat, menuntunku ke taman saat bosan, menghapus airmataku saat sedih, menghiburku dengan cerita konyolnya, dan mengecup keningku agar aku terlelap dalam tidur. I miss it!
Hingga akhirnya, mama memberikan surat padaku. Surat dari Adhit.
Selamat pagi cinta, aku yakin kau semakin cantik hari ini. Maaf, tak ada bunga yang kuberikan kali ini. Mungkin kau membenciku, muak, kesal , dan ingin muntah setiap kali mengingatku. Hei Nadia! Aku tidak pergi, aku hanya menghilang. Ingatlah, dalam dirimu ada hatiku. Jagalah dengan baik. I’ll always loving you. Apakah kau masih mencintaiku Nadia?
Ur price_Adhitia  Dirga

Mama tiba-tiba memeluk erat tubuhku. Air matanya jatuh yang tak kumengerti apa penyebabnya.
“Ini surat seminggu yang lalu, Adhit mendonorkan hatinya untukmu nak…..!!!”

Jleb! Sontak pikiranku kacau. Air mata menyeruak dari retina mataku. Tubuhku jatuh dalam pelukan mama dan bayangan Adhit segera menyelimutiku. Adhit,kau mantan terindahku dan aku salah menilai tentangmu. Aku masih mencintaimu. Selamanya….


*cerpen ini berhasil lolos dalam event menulis Aria Publishing, dan dibukukan dalam Antologi Mantan Terindah

Unknown

About Unknown -

Ummi Hasanah yang kerap disapa Ala. Mahasiswi Tafsir Hadis UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang kini sibuk skripsi, mengajar dan mencari ilmu di Pusat Studi Pesantren Jakarta. Asli Lampung, darah Sunda Jawa.

Subscribe to this Blog via Email :